Jam sudah menunjukkan angka 11 ketika aku duduk merebahkan diri di
ruang tengah. Tentu saja istri dan
putriku Biyan sudah tertidur lelap, tapi mengapa pintu kamar Biyan masih
terbuka? Aku tertegun saat berdiri di depan pintu kamar Biyan. Biyan tertidur
di meja belajarnya, ditangan kanannya masih memegang pensil dan sepertinya ia
menulis sesuatu di buku tulisnya dan ada segelas kopi.
“Tumben anak ini minum kopi“
pikirku. Ku angkat dia ketempat tidur dan Ku bereskan meja belajarnya yang
berantakan. Sebelum Aku menutup buku tulisnya, Aku tertegun sejenak saat
membaca tulisan-tulisannya. Ternyata semuanya cerita tentang diriku. Hingga
akhirnya Aku membaca 3 lembaran terakhir yang sangat menyentuh hatiku.
Di lembaran pertama dia menulis, “Hari ini, Ayah tidak jadi menemaniku ke toko
buku, mungkin karena Ayah tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, Aku mengerti
dengan kesibukan Ayah“.
Aku jadi teringat beberapa minggu
yang lalu, Biyan mengajakku ke toko buku. Aku ingat sekali gaya bicaranya yang
polos, “Ayah, nanti sore ada kegiatan gak sih?” Sapa Biyan saat Aku
akan pergi kerja. “Ada apa Sayang?” jawabku “Ayah mau gak nemenin
Biyan ke toko buku?”. “Kalau Ayah gak sibuk, nanti ayah usahakan nemenin
kamu yah”. “Terima kasih Ayah” ucap Biyan dengan wajah yang sangat gembira
sambil mencium pipiku. Aku tersenyum melihat tingkahnya yang lucu dan
menggemaskan.
Di lembaran kedua Ia menulis, “Hari
ini Ayah tidak jadi lagi menemaniku ke toko kaset. Padahal Aku ingin sekali
mendengar lagunya Sulis dan memutarnya di kamarku saat Aku sedang sendiri agar
Aku merasa tidak kesepian. Sebenarnya Aku bisa saja mengajak Ibu, tapi Aku
ingin sekali ditemani Ayah, tapi lagi-lagi Ayah sibuk.”
Aku kembali teringat saat Biyan
mengajakku menemaninya ke toko kaset. Bila Ia ingin mengajakku pergi Ia selalu
bicara seperti ini, “Ayah nanti sore sibuk gak?” atau “Nanti
sore, Ayah ada kegiatan gak?“ Bahasa yang sopan sekali menurutku
sehingga Aku tidak bisa untuk mengatakan tidak. Walaupun terkadang Aku tidak
bisa memenuhi keinginannya.
Di lembaran terakhir dia
menulis, “Hari ini dan untuk kesekian kalinya, Ayah tidak bisa
menemaniku. Tadi Aku mengajak Ayah menemaniku ke pasar malam. Padahal ini kan
malam terakhir ada pasar malam di komplek ku dan Aku sudah janji sama Pak Mat
kalau aku akan membeli boneka yang ditawarkan tadi sore, saat Pak Mat lewat
depan rumah. Aku katakan
padanya, jika nanti sore Aku akan pergi bersama ayah ke pasar malam dan akan
membeli boneka itu. Karena Ayah masih belum pulang, pasti Pak Mat sudah
menjualnya. Pak Mat, maafin Biyan yah. Besok pagi-pagi sekali Biyan
mau nungguin Pak Mat lewat depan rumah dan mau minta maaf karena Biyan
gak jadi pergi ke pasar malam dan membeli bonekanya. Kali ini biyan
yang akan minta maaf duluan, biasanya Pak Mat yang selalu minta maaf jika
melihatku sudah menunggu di depan rumah menanti majalah yang Aku pesan. Dia
selalu bilang, “Maaf yah Neng, Pak Mat terlambat”. Padahal menurutku Pak Mat gak
terlambat kok, hanya saja Aku yang terlalu cepat menunggunya. Begitu melihatku
sudah menunggu, Dia mengayuh sepedanya lebih cepat. Saat Ku Tanya, “Kenapa Pak
Mat selalu minta maaf ? Padahal kan, Pak Mat gak punya salah sama
Biyan”. “Iya Neng, Pak Mat tidak ingin mengecewakan Neng Biyan. Kemarin kan Pak
Mat sudah bilang kalo akan nganterin majalahnya pagi-pagi sebelum Neng
pergi ke sekolah. Coba kalau Pak Mat datangnya kesiangan. Pasti Neng kecewa.
Pak Mat gak ingin Neng…!!! Mengecewakan orang, karena kekecewaan itu akan
menimbulkan luka di hati dan susah menyembuhkannnya. Kecuali kita minta maaf
yang tulus pada orang tersebut.”
“Jadi ingat sama Ayah. Ayah gak
pernah ngucapin maaf padaku atau karena Ayah menganggapku masih kecil?
Atau… ahhh… Aku gak mau berprasangka buruk pada Ayah. Meskipun
sebenarnya Aku sangat kecewa dengannya. Tapi Aku tidak ingin menyimpan
kekecewaan itu dalam hati. Bahkan pintu hatiku selalu terbuka untuk Ayah.”
Aku menangis membaca tulisan
Biyan. Ku dekati dia dipembaringan, sambil Ku pandangi wajahnya yang polos.
“Biyan, putriku sayang, maafkan Ayah. Ternyata kamu punya hati emas”. Aku
memang tidak pernah meminta maaf padanya atas janji-janji Ku yang tak bisa Ku
penuhi. Aku juga selalu menganggap, Biyan sudah melupakannya begitu melihat
wajahnya begitu cerah keesokan harinya. Ternyata dia masih mengingatnya dalam
tulisan-tulisannya. “Entah sudah berapa banyak goresan rasa kecewamu. Andai
kamu tidak memaafkan Ayah, Sayang. Ayah akan menunggumu terbangun untuk meminta
maaf padamu.
**
"kutipan"