Adi Saputra

Curahan buah fikiran yang tersimpan




















Selasa, 03 Desember 2013

Maafkan Ayah Sayang...




Jam sudah menunjukkan angka 11 ketika aku duduk merebahkan diri di ruang tengah. Tentu saja istri dan putriku Biyan sudah tertidur lelap, tapi mengapa pintu kamar Biyan masih terbuka? Aku tertegun saat berdiri di depan pintu kamar Biyan. Biyan tertidur di meja belajarnya, ditangan kanannya masih memegang pensil dan sepertinya ia menulis sesuatu di buku tulisnya dan ada segelas kopi.

“Tumben anak ini minum kopi“ pikirku. Ku angkat dia ketempat tidur dan Ku bereskan meja belajarnya yang berantakan. Sebelum Aku menutup buku tulisnya, Aku tertegun sejenak saat membaca tulisan-tulisannya. Ternyata semuanya cerita tentang diriku. Hingga akhirnya Aku membaca 3 lembaran terakhir yang sangat menyentuh hatiku. Di lembaran pertama dia menulis, “Hari ini, Ayah tidak jadi menemaniku ke toko buku, mungkin karena Ayah tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, Aku mengerti dengan kesibukan Ayah“.

Aku jadi teringat beberapa minggu yang lalu, Biyan mengajakku ke toko buku. Aku ingat sekali gaya bicaranya yang polos, “Ayah, nanti sore ada kegiatan gak sih?” Sapa Biyan saat Aku akan pergi kerja. “Ada apa Sayang?” jawabku “Ayah mau gak nemenin Biyan ke toko buku?”. “Kalau Ayah gak sibuk, nanti ayah usahakan nemenin kamu yah”. “Terima kasih Ayah” ucap Biyan dengan wajah yang sangat gembira sambil mencium pipiku. Aku  tersenyum melihat tingkahnya yang lucu dan menggemaskan.

Di lembaran kedua Ia menulis, “Hari ini Ayah tidak jadi lagi menemaniku ke toko kaset. Padahal Aku ingin sekali mendengar lagunya Sulis dan memutarnya di kamarku saat Aku sedang sendiri agar Aku merasa tidak kesepian. Sebenarnya Aku bisa saja mengajak Ibu, tapi Aku ingin sekali ditemani Ayah, tapi lagi-lagi Ayah sibuk.”

Aku kembali teringat saat Biyan mengajakku menemaninya ke toko kaset. Bila Ia ingin mengajakku pergi Ia selalu bicara seperti ini, “Ayah nanti sore sibuk gak?” atau “Nanti  sore, Ayah ada kegiatan gak?“ Bahasa yang sopan sekali menurutku sehingga Aku tidak bisa untuk mengatakan tidak. Walaupun terkadang Aku tidak bisa memenuhi keinginannya.

Di lembaran terakhir dia menulis,  “Hari ini dan untuk kesekian kalinya, Ayah tidak bisa menemaniku. Tadi Aku mengajak Ayah menemaniku ke pasar malam. Padahal ini kan malam terakhir ada pasar malam di komplek ku dan Aku sudah janji sama Pak Mat kalau aku akan membeli boneka yang ditawarkan tadi sore, saat Pak Mat lewat depan rumah. Aku katakan padanya, jika nanti sore Aku akan pergi bersama ayah ke pasar malam dan akan membeli boneka itu. Karena Ayah masih belum pulang, pasti Pak Mat sudah menjualnya. Pak Mat, maafin Biyan yah. Besok pagi-pagi sekali Biyan mau nungguin Pak Mat lewat depan rumah dan mau minta maaf karena Biyan gak jadi pergi ke pasar malam dan membeli bonekanya. Kali ini biyan yang akan minta maaf duluan, biasanya Pak Mat yang selalu minta maaf jika melihatku sudah menunggu di depan rumah menanti majalah yang Aku pesan. Dia selalu bilang, “Maaf yah Neng, Pak Mat terlambat”. Padahal menurutku Pak Mat gak terlambat kok, hanya saja Aku yang terlalu cepat menunggunya. Begitu melihatku sudah menunggu, Dia mengayuh sepedanya lebih cepat. Saat Ku Tanya, “Kenapa Pak Mat selalu minta maaf ? Padahal kan, Pak Mat gak punya salah sama Biyan”. “Iya Neng, Pak Mat tidak ingin mengecewakan Neng Biyan. Kemarin kan Pak Mat sudah bilang kalo akan nganterin majalahnya pagi-pagi sebelum Neng pergi ke sekolah. Coba kalau Pak Mat datangnya kesiangan. Pasti Neng kecewa. Pak Mat gak ingin Neng…!!! Mengecewakan orang, karena kekecewaan itu akan menimbulkan luka di hati dan susah menyembuhkannnya. Kecuali kita minta maaf yang tulus pada orang tersebut.”

“Jadi ingat sama Ayah. Ayah gak pernah ngucapin maaf padaku atau karena Ayah menganggapku masih kecil? Atau… ahhh… Aku gak mau berprasangka buruk pada Ayah. Meskipun sebenarnya Aku sangat kecewa dengannya. Tapi Aku tidak ingin menyimpan kekecewaan itu dalam hati. Bahkan pintu hatiku selalu terbuka untuk Ayah.”

Aku menangis membaca tulisan Biyan. Ku dekati dia dipembaringan, sambil Ku pandangi wajahnya yang polos. “Biyan, putriku sayang, maafkan Ayah. Ternyata kamu punya hati emas”. Aku memang tidak pernah meminta maaf padanya atas janji-janji Ku yang tak bisa Ku penuhi. Aku juga selalu menganggap, Biyan sudah melupakannya begitu melihat wajahnya begitu cerah keesokan harinya. Ternyata dia masih mengingatnya dalam tulisan-tulisannya. “Entah sudah berapa banyak goresan rasa kecewamu. Andai kamu tidak memaafkan Ayah, Sayang. Ayah akan menunggumu terbangun untuk meminta maaf padamu.

**
"kutipan"